Jumat, 18 September 2009

Blog ini belum mati!

Konsisten. Bagi saya, sangat sulit menerapkan kata itu pada kehidupan saya. Terbukti blog ini mati suri selama kurang lebih 4 bulan. Terakhir postingan saya tertanggal 2009-Mei-03. Banyak kegiatan beruntun selama waktu tenggang tersebut. Mulai dari ujian semester; magang mandiri; kunjungan kuliah; sampai urusan reuni SMP. Harusnya banyak cerita yang dapat saya tulis di blog ini mengenai aktifitas-aktifitas tersebut. Tapi, konsisten itu sulit, kawan!

Saya sangat salut dengan rekan-rekan yang masih konsisten dengan blog-nya. Seperti Haris Firdaus, kawan saya pengelola: rumahmimpi.blogspot.com.  Haris rutin menulis, meski seambreg aktifitas ditekuninya. Bahkan, di sela-sela merampungkan skripsinya, pria ini masih saja menuangkan uneg-unegnya di blog. Tak heran jika blog pribadinya dapat bertahan kurang lebih 4 tahun. Blogger satu ini patut diperhitungkan loyalitasnya.

Contoh lain: Astrid Prihatini. Redaktur Solopos satu ini pun masih giat mengelola blognya. Suatu yang patut saya acungi jempol, Astrid masih loyal dengan blognya di friendster, sejak Agustus 2006. Loyalitasnya dapat saya lihat dari: ketidaktertarikannya berpindah pada penyedia blog lain semacam blogger, wordpress, yang tampilannya lebih memukau.

Ada pula Ade Shinta Dewi, lewat blognya; shinta-story. Saya mengenalnya sebatas di dunia maya. Blogger ini juga pengguna baru seperti saya. Tapi toh dia tetap tekun dan loyal pada blognya. Ah, kenapa saya tidak bisa? Kenapa saya harus berlama-lama mengosongkan blog ini?

Pulang. Saya harus kembali pulang pada konsisten saya di awal pembuatan blog ini dulu. Ingatan saya melambung pada pernyataan Erskine Caldwell, penulis kenamaan Eropa tahun 80’an, "menulis adalah jalan hidupku". Ya! Saya akan terus menulis, entah ada orang yang membaca tulisan saya atau tidak, entah tulisan saya berkualitas atau tidak, entah dalam kondisi apapun. Saya akan terus menulis. Selamat datang kembali di blog pribadi saya.

Johan Bhimo


*) Gambar diambil dari sini

Minggu, 03 Mei 2009

Selamat jalan, Sang Periang



Pukul 21:11:06, pesan itu masuk ke ponsel saya. Berita duka. Mengabarkan berpulangnya sahabat lama. Hadyanto Catur Wasono. Saya ingat betul nama lengkapnya. Bagaimana tidak, dua tahun duduk di bangku SMA dalam kelas yang sama. Berita kematian itu sangat mengejutkan bagi saya. Malah sempat saya kirim pesan konfirmasi ulang pada Si Pengirim Pesan, menanyakan kebenaran berita ini. Dan benar, berita itu fakta.

Mungkin teman-teman saya lainnya juga akan meragukan kabar tersebut. Pasalnya, Catur berpembawaan riang dan usil. Beberapa bulan lalu, kami malah sempat hang out bareng saat menjenguk ST (baca blog: antara kesurupan, histeria, dan tarian setan) di RSJ Puri Waluyo Solo. Tentu kaget mendengar Catur telah kembali ke rahmatullah.

Lihat saja mimiknya pada foto. Catur diapit kedua teman perempuannya. Dengan wajah lucu tentunya. Dia memang selalu riang, bersemangat, dan bebas. Catur yang amat bangga akan statusnya sebagai anak seorang penjual lombok, dan Catur yang selalu riang di setiap siaran radionya dengan nama Chili Morelo. Di akhir-akhir masa sekolah, saya sempat dekat dengannya. Kami sama-sama berjuang menempuh ujian akhir. Seringkali dia nebeng motor saya sewaktu berangkat les. Kebetulan saya juga satu bimbel dengannya.

Catur memiliki pemikiran kritis yang terkadang jauh dari perkiraan rekan sebayanya. Namun dia tetap low profile, down to earth, supel, juga mudah bergaul. Ada satu pernyataan darinya mengenai saya, yang masih saya ingat sampai sekarang. “Hidup itu enak ada lika-likunya, lebih ada seninya. Nggak kayak kamu yang lurus-lurus saja...,” ucapnya dengan bahasa jawa ketika itu.
Dan saya pun meresapi kata-kata itu baik-baik. Benar, hidup itu lebih indah kalau beralur cabang. Begitu pula dengan Catur yang menyukai tantangan. Dia juga berjiwa pembaharu. Ide kreatif menggrafit tembok kelas berawal dari otaknya. Jika sebelumnya cat tembok kelas hanya berwarna putih membosankan, lain halnya dengan kelas kami yang bergrafit tulisan: Slow But Sure. Meski pada awalnya sempat ada problem dengan pihak sekolah, namun masalah itu dapat kami selesaikan pula. Slow But Sure tetap menyala di tembok kelas kami, juga dalam semangat kami.

Itulah kisah lama Catur. Si Periang yang kini telah pergi. Kini dia telah berpulang. Namun semangatnya masih membara di jiwa kami. Selamat jalan, Catur. Semoga kau mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Selamat Jalan, Sang Periang...
Selamat jalan...


SRAGEN-Pulang kuliah, Hadyanto Catur W (21) Rabu (15/4) pukul 18.00 meninggal dunia, diduga akibat tebrak lari di jalan raya Sragen-Solo Km 23, tepatnya di desa Duyungan, Sidoharjo. Mahasiswa FKIP UNS Sebelas Maret jurusan Bahasa Inggris semester IV itu, mengalami luka parah di bagian kepala dan dada. (Suara Merdeka, Edisi: Jumat,17 April 2009, Hal. G)


Johan Bhimo

*) Gambar: Dok. Pribadi

Sabtu, 14 Maret 2009

20


I)
20 tahun:
Angka berkepala dua
Kata mereka awalan untuk sebuah perubahan
Titik awal untuk kedewasaan, lebih jelasmu

Tapi hidup bukan berawal dari itu
Hidupku telah beralur jauh sebelumnya
Ada putih, ada abu-abu, ada pula pekat
Kadang kala aku mengeluh saat terjatuh
Namun terkadang aku tertawa lepas menerima bertubi-tubi nikmat
Di lain waktu aku bosan dengan hidup yang datar-datar saja

II)
Dua puluh tahun terhidupi
Dengan elemen-elemen pembentuk naluriku
Entah berapa banyak oksigen yang telah kuhirup
Sampai-sampai aku harus berhutang pada alam

Sepotong roti dan selamat ulang tahun,
Dua elemen dari milyaran yang ada di hari kebangkitanku
Oksigen itu telah terhirup olehku, singgah di hidungku dan menelusuri organ tubuhku
Dia mengucap keras di jantungku,
Selamat ulang tahun (melalui detakannya yang teramat teratur)

III)
Kemarin jam tanganku berhenti di jarum 23.45
Tak mau beranjak, memilih duduk di situ
Nampaknya ada konspirasi dari benda mati
Jika waktu memilih berhenti di situ, lantas kenapa?
Apa dia tak ingin melihatku keesokan hari,
Ataukah dia tak ingin berucap yang sama seperti jantungku
Agh, aku bukan anak indigo yang pandai membaca isyarat

Biarkan saja hari itu berlalu,
Menggenapi isyarat dengan selubung kejutan
Hari ini dua puluh tahun lebih satu hari milikku,
Ada sesuatu yang masih kutunggu
Apakah itu dirimu, Bulan?


Johan Bhimo

*) Gambar diambil dari sini

Sabtu, 07 Maret 2009

Antara kesurupan, Histeria, dan Tarian Setan

Banyak hal di muka Bumi ini yang tidak dapat kita mengerti secara logika. Ada saja hal di luar nalar yang terkadang membuat kita menyelakan diri barang sebentar untuk menengoknya. Hanya menengok, bukannya meluangkan waktu untuk berpikir dua-tiga kali. Orang bilang, ini masalah gaib. Ada pula yang berkata soal spiritual. Akhir-akhir ini publik seperti digegerkan pemberitaan kesurupan masal dari berbagai media. Tanpa padang bulu, kesurupan ini mampir pada siapa saja. Pelajar sekolah menengah yang tengah menimba ilmu pun menjadi korban keganasan itu.  

"......Mereka tiba-tiba pingsan saat mengikuti upacara rutin hari Senin di halaman sekolah. Lalu berteriak-teriak histeris. Kejadian itu sempat membuat suasana sekolah heboh...."

Begitulah gambaran kesurupan yang dialami beberapa siswi SMAN 1 Ampel, Boyolali, seperti dilansir Solopos, 23 Febuari 2009 lalu.

Nampaknya roh jahat (begitu ahli spiritual menyebut penyebabnya), tidak peduli tubuh siapa yang disinggahinya. Berbeda selisih hari, Lia Ladysta, satu dari tiga personel Trio Macan ini juga mengalami nasib yang sama. Naasnya, kerasukan yang dialaminya ini terjadi saat dia tengah manggung di lapangan Pancasila, Kota Bula, Kabupaten Seram Timur, Maluku, bersama dua personil lainnya. Menurut Okezone.com, kejadian ini terjadi pada 22 Januari 2009 lalu saat mereka tengah menghibur penonton dalam rangka HUT Kabupaten Seram Timur. Mungkin saja karena goyangan pelantun tembang “SMS” ini terlalu seronok dan vulgar (diskripsi: menggeliat-liat liar), di tambah pakaian yang ‘ala kadarnya’, membuat setan-setan malah jijik melihat pertunjukan itu. Atau malah inilah yang disenangi setan hingga seorang personil mereka menampilkan: tarian setan.

“Histeria,” jawab seorang kawan kost saat saya menanyakan istilah kejiwaan untuk kesurupan ini. Kebetulan dia mengambil jurusan Psikologi. Sebelumnya, saya pribadi beranggapan kesurupan itu hal yang hanya ada di layar televisi. Akan tetapi, kejadian week end kemarin menyadarkan saya kalau: itu nyata! Seorang teman lama ‘sakit’ (lebih tepatnya kesurupan), dan dirawat di RSJ Puri Waluyo, Solo. Bersama rombongan, kami menjenguk teman lama ini. ST (disamarkan), namanya. Sedih rasanya saat melihat tubuhnya terbaring dengan ikatan di kedua tangan dan kakinya. Kesurupan yang dialaminya ini bebarengan dengan keempat anggota keluarganya lain. 

Perjalanan membawa keluarga Murti ke Solo, bukanlah perkara mudah. Sebab ST dan Rika yang nampak histeris, minta sopir Surono memacu mobil Mistubishi kuda dengan kecepatan tinggi. ”Pokoknya kalau tidak bisa berjalan di atas 100 km per jam, saya minta turun,”teriak ST sambil memukuli punggung sopir dari jok belakang. Seperti itulah keadaan ST, seperti tertulis dalam Suara Merdeka edisi Senin, 23 Febuari 2009.

Kondisi ST dan adik perempuannya yang masih labil, membuat mereka harus berdiam diri dulu di ruangan pesakitan ini. Berlainan dengan Ibu dan pamannya yang telah diperbolehkan pulang. ST mampu berbicara, tapi sepertinya itu "bukan suaranya". Saat makan pun layaknya itu bukan dia. ST yang biasanya makan lemah lembut layaknya gadis lain (dua tahun saya sekelas dengannya,hingga tahu menahu perihal ini), berubah beringas seperti tidak makan seminggu saja. Tapi uniknya, saat di minta berdoa sebelum makan, ST malah mampu melafalkan Surat Al Fatihah dengan sempurna. Luar biasa. Kadang dia tidur-tiduran seperti orang normal, akan tetapi mendadak berubah berbicara ngelantur dengan penuh emosi. Serasa ada dua roh di dalam tubuhnya. Saat seorang teman akrabnya mendekat, sekonyong-konyong penderita ngamuk hendak mengusirnya. Dia nampak ketakutan dengan sorot mata temannya itu yang nampak biru berlapis contact lens. Setelah ditenangkan seorang teman lain, ST pun sadar. Akan tetapi hal ini berulang-ulang sekitar tiga kali. Ngamuk, kemudian sadar. Seolah-olah berkepribadian ganda. 

Kesimpangsiuran penyebab kesurupan ST ini santer terdengar di kalangan kami. Mulai dari adanya orang ketiga yang sengaja ‘melukai’ gadis itu, kesurupan arwah bapaknya yang telah meninggal, sampai depresi sesaat adik perempuannya mencurahkan permasalahan yang dialaminya pada ST. Yang lebih mudah ditangkap nalar, tentunya hipotesis terakhir. 

Saya pernah membaca sebuah website Dharma Center “Bunda Mulia”, Jakarta, Indonesia, yang mengutip tulisan dari buku Kisah-Kasih Spiritual Bagian 2 - Wisnu Prakasa, "Bagaikan sebuah kendi, disaat kesurupan kita menuangkan air keluar dan disaat bermeditasi kita menambahkan air kedalam kendi. Mereka yang selalu menuangkan tanpa menambahkan akhirnya akan menjadi kendi yang kosong, sehingga tidak bermanfaat lagi bagi dirinya maupun bagi sesama." Baca di sini

Ternyata bumi ini bukan hanya di huni oleh mahluk kasat mata saja. Di luar sana terselip juga kehidupan lain yang sulit diterima akal sehat. Dokter atau psikolog boleh beranggapan ini histeria belaka. Tapi, di luar itu, siapa yang tahu? Yang jelas, kesurupan merupakan hal kecil yang bahkan sampai sekarang masih saja simpang siur diperbicarakan.

Johan Bhimo


*) Gambar diambil dari sini.

Senin, 16 Februari 2009

Perjalanan Pemburu

Kuberanikan diri menghampiri gerombolan bapak-bapak yang masih berleha-leha di warung tenda itu. Ada tiga orang di sana. Kesemuanya menyambutku dengan pandangan yang kuyakin siap untuk memberondong pertanyaan.

“Maaf, pak. Rumah Pak RT disini di mana?
Bapak bertubuh kurus pun balik bertanya. Keperluan apa, dari mana, dan beberapa rumusan 5W 1H lainnya. Dua orang lagi juga siap mengomentari bak polisi menginterogasi maling saja. Kutata nafasku baik-baik. Kujaga emosiku agar tidak meledak. Penjelasan demi penjelasan kulontarkan dengan hati-hati. Bibirku bergetar menahan dinginnya malam. Dari siang tadi saya belum makan, tapi nafsu makanku telah menghilang meski di depanku tersaji gorengan hangat di warung ini. Si kurus mengurungkan niatnya mengantarkanku karena hujan masih deras. Entah berapa lama lagi saya tersiksa dengan dinginnya malam ini. Setelah sekali lagi kupinta, akhirnya bapak itu mengantarku juga. Tidak berapa jauh dari pemberhentian tadi, sampailah kami di rumah Pak RT. Pintu diketuk beberapa kali. Saya disambut baik oleh Tuan rumah. Bapak bertubuh tinggi besar itu mempersilahkanku duduk tanpa menghiraukan kondisiku yang basah-kuyup. Kata tanya pun juga mengawali pembicaraan kami.

“Adik dari mana?”.......
Sejenak saya teringat perjalananku dari Solo tadi. Berhenti dari emperan toko satu ke emperan yang lain. Hujan seakan-akan mempermainkanku. Saat hujan mulai reda dan perjalanan tinggal setengah jalan, di depanku tertera jelas beberapa kalimat yang intinya: Banjir. Jalan dialihkan. Duh Gusti Allah, cobaan apa lagi ini?

“Mau kemana?,”tanya seorang polisi yang mengatur macetnya arus jalan.
“Sragen.”
“Lewat Kerjo!”

Motor kualihkan ke arah yang dimaksud bapak polisi ini. Semakin ke selatan, semakin gelap saja. Kucoba mengendarai motor dengan felling untuk menentukan arah. Semakin jauh dan gelap. Hujan pun bukannya bertambah reda malahan dengan santainya menyapaku lagi. Logikaku berjalan. Kalau kuteruskan melewati jalanan ini, tentu akan memakan jarak yang teramat jauh tentunya. Apalagi sudah malam, jalanan licin, mata sudah kabur, dan saya membawa laptop beserta buku-buku kuliah yang bejibun. Kesemuanya itu menjadi pertimbangan sendiri bagiku untuk mengurungkan perjalanan ini. Kubelokkan motor untuk mencari penginapan di rumah penduduk. Sepi. Mungkin mereka memilih tidur dan menutup pintu rapat-rapat saat hujan berkepanjangan seperti ini. Kuteruskan pencarianku dan mentok ke: kuburan. Disitu nisan-nisan berjajar rapi. Saya masih ingin hidup, Tuhan!

Kubalikkan arah, dan kembali ke jalur sebelumnya. Lurus, lurus, dan...dubrag...!!! motorku terjatuh karena selip di lubang jalan yang cukup lebar. Tubuh ini tertimpa motor. Mataku memang agak kabur di malam hari dan kurang fokus. Saya jatuh, dan saya berdiri sendiri. Kutahan ngilunya tubuh ini. Dengan hati-hati kuteruskan perjalanan, dan di warung tenda itulah saya berhenti.

.......“Adik dari mana?”
Kujawab pertanyaan Pak RT itu. Kujelaskan maksud kedatanganku disini dengan ragu. Ah, mana ada orang baik di jaman seperti sekarang ini?, pikirku sesaat setelah mengutarakan niatanku untuk menginap semalam. Bapak itu memanggil isterinya yang tengah hamil. Kebetulan Si isteri berasal dari Sragen dan bekerja pula di kota yang sama. Pertanyaan demi pertanyaan pun mencuat. Kuserahkan KTP-ku sesuai permintaan Pak RT. Beliau mempersilahkanku masuk setelah menyuruh memasukkan motorku di dapurnya. Asumsiku bahwa tidak ada orang baik di jaman modern ini pun membuyar.

Sebuah kamar yang cukup besar di peruntukkan bagiku. Kasur empuk ala spring bed dipersiapkan Si Ibu. Rasa-rasanya kamar ini terlalu bagus untuk seukuran tamu tak dikenal sepertiku. Belum cukup kebaikan itu berhenti, ibu ini membuatkan segelas susu hangat untukku. Sementara Bapak mengimbuhkan roti kering sekedar pengganjal perutku, setelah kutolak halus penawarannya makan malam. Di depan TV, obrolan-obrolan ringan mulai terbangun. Saya menceritakan perjalanan panjangku tadi. Bapak menimpali dengan pertanyaan mengenai latar belakang keluargaku, sementara ibu nampaknya telah mengenal orang-orang yang kuceritakan padanya. Di rumah yang cukup besar itu, tinggal bapak, ibu, dan anak kecil yang kurasa masih balita. Menurut Bapak, seorang anaknya lagi tinggal bersama eyangnya di Sragen. “Masih kelas lima SD,” ucap bapak tersenyum.

Perbincangan kami layaknya pengganti setiap iklan yang menyela sinetron tontonan keseharian mereka itu. Saat mereka khusyuk menonton adegan demi adegan di layar, saya tak berani mengganggu mereka. Tapi setelah iklan mulai muncul, obrolan pun kembali menghangat. Semakin malam, saya minta ijin untuk masuk ke kamar. Kurebahkan tubuhku di kasur empuk itu. Mataku memang tak kunjung tertidur. Di sela-sela mengistirahatkan pikiran, kudengar suara halus dari ruang keluarga tadi, “Itu teman ibu, jangan di ganggu!,” ucap Si Ibu ketika anaknya bertanya siapa saya. Teman? Ehm...ternyata masih ada orang baik untukku. Detik terus berjalan,berganti menit, berubah pula jarum jam. Akhirnya saya tertidur juga. Pukul 22:08:54, saya terbangun saat ponselku bergetar dua kali menandakan sebuah pesan masuk. Sebuah pesan singkat yang datang dari sahabat di saat yang tepat. Doamu datang di saat yang tepat, kawan!

Dear Allah.
Please take care someone who read this message,
always happy in her life,
spirit in her soul and peace in her heart.
Not only today, but forever..
Amin.

* * *
Setelah subuh, saya bersiap-siap untuk berkemas. Semakin lama saya disini, tentu akan merepotkan pemilik rumah. Apalagi kutahu jam tujuh nanti Sang Bapak harus mengantar isterinya berkerja di Sragen. Sebenarnya mereka menyarankanku untuk menunggu agak siangan dulu atau pulang bersama mereka saja. Tapi saya harus tahu diri, siapa saya. Saya hanyalah seorang tamu "tak dikenal" yang numpang di rumah mereka. Sudah cukup kebaikan itu bagiku. Tak lupa kuucapkan dua kata penting : terima kasih. Saya pamit pada Ibu dan Bapak. Terima kasih, Tuhan yang akan membalas kebaikan kalian.

A lonely road, crossed another cold state line
Miles away from those I love purpose hard to find
While I recall all the words you spoke to me
Can’t help but wish that I was there
Back where I’d love to be, oh yeah…
(Dear God - Avenged Sevenfold)



(In Memory: Desa Nangsri; 30/01/2009; 
Bapak Giyanto; Ibu Sukini; 
dan perjalananku 
yang indah)

Johan Bhimo

*) Gambar: Dok. Pribadi

Senin, 26 Januari 2009

Namaku apa?


MENGINGAT

Seorang Bapak tentu tidak akan asal-asalan dalam memberi nama buah hatinya. Ada berbagai pertimbangan yang di ambil sebelum memutuskan sebuah nama. Dialog-dialog kecil pun bisa saja terjadi di dalamnya. Raihana, misalnya. Di ambil dari bahasa arab ‘raihanah’ yang berarti perempuan yang menawan. Pertimbangan di dalamnya bisa jadi ialah sebuah permintaan pada Tuhan agar kelak anaknya tumbuh bak perempuan menawan yang enak di pandang.

Pertimbangan-pertimbangan dalam pemberian nama ini pun bukan hanya dimonopoli oleh seorang Bapak (berserta keluarga tentunya), akan tetapi juga oleh subjek lain. Masih ingat pada group band asal Kota gudeg, Letto? Apa nama itu di pilih karena gaya bermusik mereka yang cenderung letoy dan mellow? Bisa jadi memang begitu. Tapi, tunggu dulu. Dalam ilmu psikologi, mengenal istilah Lethologica. Sebuah kelainan psikologis yang membuat seseorang dapat terlupa mengenai kata kunci ataupun nama sebuah percakapan. Mengenai kemungkinan pengambilan istilah tersebut, tentu group band mereka sendirilah yang dapat menjelaskan alasannya.

Berjalan meninggalkan subjek sebelumnya, kita menuju pada subjek kasat mata. Pernahkan kita berpikiran kenapa Tuhan di pilih dalam sebuah nama. Penyebutan nama Tuhan ini pun berbeda antara agama satu dengan agama yang lain. Umat Kristen menempatkan kata ‘Bapa’ pada Tuhan mereka. Dalam kesempatan lain, mereka juga menulis ‘Alah’ (dengan satu’l’), Yahweh, Yahovah, atau Eloah. Nama Tuhan dalam agama Budha ialah Buddha. Sementara dalam Islam sendiri , memiliki 99 asmaul husna (nama baik bagi Allah). Bahasa Inggris telah menyetarakan nama Tuhan dalam satu kata, yakni ‘God’. Berbicara mengenai nama Tuhan seperti ini memang sesuatu yang amat sensitif. Adanya beragam pemberian nama Tuhan itu tentu berpendoman bahwa Tuhan ialah dzat Esa yang menciptakan Alam semesta. Inilah yang sebenarnya inti dari Ketuhanan itu sendiri.

Nama memang memiliki sebuah rahasia yang tidak akan tuntas jika dibicarakan dalam sekali dialog. Seringkali kita mendengar seorang anak yang bertanya pada Bapaknya, ”Itu namanya apa, Pak?” Ah, harus berapa tanda tanya untuk menjawab rahasia sebuah nama.

MENIMBANG

Beralih dari kesemua hal di atas, pemilihan nama pada blog ini tentu juga memiliki pertimbangan tersendiri. porospemburu. Pertama kali mengenalkan nama Blog ini pada seorang kawan, dia terkekeh. ”Kenapa harus pemburu? pemburu cinta maksudnya?”, tanyanya dengan mimik yang entah itu penasaran atau bahkan sebuah ejekan. Ditinjau dari susunan katanya, porospemburu = poros + pemburu = poros pemburu. Di dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) telah tertulis jelas pengertian keduanya. Poros = sumbu (gandar) roda, dsb, sedangkan, pemburu = orang yang kerjanya berburu binatang.

Dari asal katanya terutama pada pengertian pemburu, penulis sangat tidak sepakat dengan kamus tersebut. Penempatan pengertian pemburu dalam kamus setebal lebih dari 4 cm itu, terlihat tidak mengindahkan kata berburu dari asal kata yang sama. Dilihat susunan katanya, pemburu= pe + buru. Menilik kembali kamus buatan Depdikbud dengan penerbit Balai Pustaka ini, telah ditekankan, buru = berburu ; mengejar atau mencari (binatang di hutan dsb). Entah pemikiran penulis yang diluar konteks atau apa, pemvonisan pemburu yang hanya berkutat pada binatang inilah yang menjadikannya rancu. Pada pengertian berburu sangat jelas terlihat penekanan binatang hanyalah pemisalan. Hal ini di benarkan dengan embel-embel ‘dsb’ -dan sebagainya- di bagian akhir pemisalan dalam kurung. Bukankah jika berkiblat dari pengertian berburu tersebut, seharusnya, pemburu: orang yang kerjanya berburu, mengejar atau mencari (binatang di hutan dsb). Selanjutnya, penulis berasumsi makna ‘dsb’ tentu amat sangat luas. Berburu harta karun,berburu rupiah, berburu amal, berburu cinta, berburu pengalaman, ialah beberapa contohnya.

Kembali pada pengertian porospemburu dalam pemberian nama Blog ini. Diartikan secara abstrak oleh penulis sebagai sumbu tengah dimana dijadikan tempat seorang pemburu untuk melakukan kerjanya berburu, mengejar dan mencari sesuatu. Sesuatu dalam artian yang luas dan mungkin akan sulit jika ditelaah lebih lanjut.

MEMUTUSKAN

Sebuah nama sebuah peristiwa. Sebuah nama memiliki sejarah tersendiri melalui serangkaian pemilihan yang cenderung panjang dan melelahkan. Makna yang terkandung di dalamnya dapat saja diinterpretasikan berbeda oleh orang lain. Tapi si empu pemilih nama tentu saja memiliki pertimbangan dan pengertian sendiri dalam pemilihannya.

Blog yang lahir pada 21 Januari 2009 ini menjadi tempat yang dirasa perlu bagi penulis sebagai pemburu, dalam melihat berbagai perihal dari sudut pandangnya sendiri. Ya, poros pemburu. Demikianlah keputusan terkait nama blog ini. Selamat datang, dan nikmatilah sajian ini.

Johan Bhimo

*) Gambar diambil dari sini