Kuberanikan diri menghampiri gerombolan bapak-bapak yang masih berleha-leha di warung tenda itu. Ada tiga orang di sana. Kesemuanya menyambutku dengan pandangan yang kuyakin siap untuk memberondong pertanyaan.
“Maaf, pak. Rumah Pak RT disini di mana?
Bapak bertubuh kurus pun balik bertanya. Keperluan apa, dari mana, dan beberapa rumusan 5W 1H lainnya. Dua orang lagi juga siap mengomentari bak polisi menginterogasi maling saja. Kutata nafasku baik-baik. Kujaga emosiku agar tidak meledak. Penjelasan demi penjelasan kulontarkan dengan hati-hati. Bibirku bergetar menahan dinginnya malam. Dari siang tadi saya belum makan, tapi nafsu makanku telah menghilang meski di depanku tersaji gorengan hangat di warung ini. Si kurus mengurungkan niatnya mengantarkanku karena hujan masih deras. Entah berapa lama lagi saya tersiksa dengan dinginnya malam ini. Setelah sekali lagi kupinta, akhirnya bapak itu mengantarku juga. Tidak berapa jauh dari pemberhentian tadi, sampailah kami di rumah Pak RT. Pintu diketuk beberapa kali. Saya disambut baik oleh Tuan rumah. Bapak bertubuh tinggi besar itu mempersilahkanku duduk tanpa menghiraukan kondisiku yang basah-kuyup. Kata tanya pun juga mengawali pembicaraan kami.
“Adik dari mana?”.......
Sejenak saya teringat perjalananku dari Solo tadi. Berhenti dari emperan toko satu ke emperan yang lain. Hujan seakan-akan mempermainkanku. Saat hujan mulai reda dan perjalanan tinggal setengah jalan, di depanku tertera jelas beberapa kalimat yang intinya: Banjir. Jalan dialihkan. Duh Gusti Allah, cobaan apa lagi ini?
“Mau kemana?,”tanya seorang polisi yang mengatur macetnya arus jalan.
“Sragen.”
“Lewat Kerjo!”
Motor kualihkan ke arah yang dimaksud bapak polisi ini. Semakin ke selatan, semakin gelap saja. Kucoba mengendarai motor dengan felling untuk menentukan arah. Semakin jauh dan gelap. Hujan pun bukannya bertambah reda malahan dengan santainya menyapaku lagi. Logikaku berjalan. Kalau kuteruskan melewati jalanan ini, tentu akan memakan jarak yang teramat jauh tentunya. Apalagi sudah malam, jalanan licin, mata sudah kabur, dan saya membawa laptop beserta buku-buku kuliah yang bejibun. Kesemuanya itu menjadi pertimbangan sendiri bagiku untuk mengurungkan perjalanan ini. Kubelokkan motor untuk mencari penginapan di rumah penduduk. Sepi. Mungkin mereka memilih tidur dan menutup pintu rapat-rapat saat hujan berkepanjangan seperti ini. Kuteruskan pencarianku dan mentok ke: kuburan. Disitu nisan-nisan berjajar rapi. Saya masih ingin hidup, Tuhan!
Kubalikkan arah, dan kembali ke jalur sebelumnya. Lurus, lurus, dan...dubrag...!!! motorku terjatuh karena selip di lubang jalan yang cukup lebar. Tubuh ini tertimpa motor. Mataku memang agak kabur di malam hari dan kurang fokus. Saya jatuh, dan saya berdiri sendiri. Kutahan ngilunya tubuh ini. Dengan hati-hati kuteruskan perjalanan, dan di warung tenda itulah saya berhenti.
.......“Adik dari mana?”
Kujawab pertanyaan Pak RT itu. Kujelaskan maksud kedatanganku disini dengan ragu. Ah, mana ada orang baik di jaman seperti sekarang ini?, pikirku sesaat setelah mengutarakan niatanku untuk menginap semalam. Bapak itu memanggil isterinya yang tengah hamil. Kebetulan Si isteri berasal dari Sragen dan bekerja pula di kota yang sama. Pertanyaan demi pertanyaan pun mencuat. Kuserahkan KTP-ku sesuai permintaan Pak RT. Beliau mempersilahkanku masuk setelah menyuruh memasukkan motorku di dapurnya. Asumsiku bahwa tidak ada orang baik di jaman modern ini pun membuyar.
Sebuah kamar yang cukup besar di peruntukkan bagiku. Kasur empuk ala spring bed dipersiapkan Si Ibu. Rasa-rasanya kamar ini terlalu bagus untuk seukuran tamu tak dikenal sepertiku. Belum cukup kebaikan itu berhenti, ibu ini membuatkan segelas susu hangat untukku. Sementara Bapak mengimbuhkan roti kering sekedar pengganjal perutku, setelah kutolak halus penawarannya makan malam. Di depan TV, obrolan-obrolan ringan mulai terbangun. Saya menceritakan perjalanan panjangku tadi. Bapak menimpali dengan pertanyaan mengenai latar belakang keluargaku, sementara ibu nampaknya telah mengenal orang-orang yang kuceritakan padanya. Di rumah yang cukup besar itu, tinggal bapak, ibu, dan anak kecil yang kurasa masih balita. Menurut Bapak, seorang anaknya lagi tinggal bersama eyangnya di Sragen. “Masih kelas lima SD,” ucap bapak tersenyum.
Perbincangan kami layaknya pengganti setiap iklan yang menyela sinetron tontonan keseharian mereka itu. Saat mereka khusyuk menonton adegan demi adegan di layar, saya tak berani mengganggu mereka. Tapi setelah iklan mulai muncul, obrolan pun kembali menghangat. Semakin malam, saya minta ijin untuk masuk ke kamar. Kurebahkan tubuhku di kasur empuk itu. Mataku memang tak kunjung tertidur. Di sela-sela mengistirahatkan pikiran, kudengar suara halus dari ruang keluarga tadi, “Itu teman ibu, jangan di ganggu!,” ucap Si Ibu ketika anaknya bertanya siapa saya. Teman? Ehm...ternyata masih ada orang baik untukku. Detik terus berjalan,berganti menit, berubah pula jarum jam. Akhirnya saya tertidur juga. Pukul 22:08:54, saya terbangun saat ponselku bergetar dua kali menandakan sebuah pesan masuk. Sebuah pesan
singkat yang datang dari sahabat di saat yang tepat. Doamu datang di saat yang tepat,
kawan!
Dear Allah.
Please take care someone who read this message,
always happy in her life,
spirit in her soul and peace in her heart.
Not only today, but forever..
Amin.
* * *
Setelah subuh, saya bersiap-siap untuk berkemas. Semakin lama saya disini, tentu akan merepotkan pemilik rumah. Apalagi kutahu jam tujuh nanti Sang Bapak harus mengantar isterinya berkerja di Sragen. Sebenarnya mereka menyarankanku untuk menunggu agak siangan dulu atau pulang bersama mereka saja. Tapi saya harus tahu diri, siapa saya. Saya hanyalah seorang tamu "tak dikenal" yang numpang di rumah mereka. Sudah cukup kebaikan itu bagiku. Tak lupa kuucapkan dua kata penting : terima kasih. Saya pamit pada Ibu dan Bapak. Terima kasih, Tuhan yang akan membalas kebaikan kalian.
A lonely road, crossed another cold state line
Miles away from those I love purpose hard to find
While I recall all the words you spoke to me
Can’t help but wish that I was there
Back where I’d love to be, oh yeah…
(Dear God - Avenged Sevenfold)
(In Memory: Desa Nangsri; 30/01/2009;
Bapak Giyanto; Ibu Sukini;
dan perjalananku
yang indah)
Johan Bhimo
*) Gambar: Dok. Pribadi